Empat pulau kecil di wilayah administrasi Aceh, yakni Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang, secara mengejutkan disahkan masuk ke dalam wilayah Sumatera Utara oleh Kementerian Dalam Negeri. Keputusan ini memicu kemarahan publik Aceh dan dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap kekhususan Aceh yang diakui dalam kerangka otonomi khusus pasca perjanjian damai Helsinki tahun 2005.
Latar Belakang Geografis dan Administratif Pulau-Pulau Sengketa
Letak Strategis dan Potensi Kelautan
Keempat pulau tersebut berada di kawasan perairan Selat Malaka yang selama ini dikelola administratif oleh Kabupaten Aceh Singkil. Pulau-pulau ini memiliki nilai strategis dalam pengawasan jalur laut serta memiliki potensi besar dalam sektor perikanan dan pariwisata bahari.
Perubahan Peta Administratif oleh Kemendagri
Dalam Surat Keputusan Nomor 100.1.1.1/1685/2022, Kementerian Dalam Negeri mengesahkan bahwa pulau-pulau tersebut masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Tak ada keterlibatan atau persetujuan dari Pemerintah Aceh dalam penetapan tersebut, yang kemudian menjadi sumber konflik administratif dan politis.
Reaksi Pemerintah Aceh dan Gelombang Protes Masyarakat
Pernyataan Resmi Pemerintah Aceh
Penjabat Gubernur Aceh serta DPR Aceh menyatakan kekecewaan dan penolakan atas keputusan Kemendagri. Mereka menilai langkah tersebut sebagai bentuk pengingkaran terhadap semangat otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh melalui UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Gerakan Sipil dan Mobilisasi Tokoh Lokal
Sejumlah tokoh masyarakat, akademisi, serta aktivis sipil melakukan aksi protes. Beberapa mahasiswa melakukan demonstrasi di Banda Aceh, sementara Lembaga Wali Nanggroe mengeluarkan maklumat bahwa wilayah adat Aceh tidak dapat dipisahkan secara sepihak.

Otonomi Khusus Aceh: Konstitusionalitas dan Pengabaian
UUPA dan Status Kekhususan Aceh
UU Pemerintahan Aceh yang lahir dari perjanjian damai Helsinki menyatakan bahwa Pemerintah Aceh memiliki kewenangan dalam hal pengelolaan wilayah dan sumber daya alam. Penyerahan empat pulau ini tanpa konsultasi dengan Aceh dianggap bertentangan dengan semangat perjanjian tersebut.
Otonomi yang Dikebiri?
Kejadian ini membuka luka lama terkait ketidakselarasan antara kewenangan pusat dan otonomi daerah. Banyak pihak menilai bahwa Aceh selama ini hanya mendapatkan label “otonomi khusus” tanpa implementasi yang sepadan, dan insiden pulau ini menjadi simbol dari lemahnya posisi Aceh dalam struktur kekuasaan nasional.
Perspektif Sumatera Utara dan Pendekatan Pemerintah Pusat
Reaksi Diam Tapanuli Tengah
Hingga saat artikel ini ditulis, belum ada pernyataan resmi dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah. Namun sejumlah media menyebutkan bahwa pemerintah setempat menyambut baik keputusan Kemendagri yang memasukkan empat pulau tersebut dalam wilayah mereka.
Kemendagri dan Lemahnya Prosedur Konsultatif
Kementerian Dalam Negeri menyatakan bahwa keputusan tersebut didasarkan pada pemetaan batas wilayah nasional, namun tidak menjelaskan secara rinci metodologi penetapan. Ketiadaan konsultasi publik atau dialog antardaerah menjadi sorotan tajam dari akademisi hukum tata negara.
Tamparan terhadap Proses Damai dan Rekonsiliasi
Isu Pulau sebagai Simbol Kerapuhan Perdamaian
Sejak perjanjian damai 2005, Aceh telah menjadi contoh model rekonsiliasi pascakonflik bersenjata. Namun kasus penyerahan pulau ini dianggap mengganggu semangat tersebut. Beberapa eks kombatan GAM menyatakan bahwa pengambilalihan wilayah tanpa persetujuan Aceh adalah bentuk penghinaan terhadap spirit perdamaian.
Risiko Bangkitnya Sentimen Separatis
Meski tidak dalam bentuk kekerasan, isu ini menyulut kekecewaan dan potensi bangkitnya retorika separatisme. Beberapa narasi mulai muncul di media sosial yang mempertanyakan komitmen negara terhadap kesepakatan damai dan hak-hak Aceh sebagai entitas berotonomi khusus.
Jalan Keluar: Dialog, Mediasi, atau Judicial Review?
Desakan Uji Materi dan Judicial Review
Sejumlah pakar hukum menyarankan Pemerintah Aceh untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi terkait keabsahan keputusan Kemendagri. Langkah ini dianggap sebagai jalan legal konstitusional untuk menolak keputusan tersebut.
Seruan Mediasi oleh Lembaga Independen
Lembaga seperti Komnas HAM dan LPSK diminta untuk turun tangan sebagai mediator. Selain itu, ada dorongan kuat agar Pemerintah Pusat memfasilitasi dialog tripartit antara Aceh, Sumatera Utara, dan Kemendagri guna menyelesaikan sengketa ini secara damai.
Kecil di Peta, Besar di Luka Sejarah
Empat pulau kecil yang dipindahkan ke wilayah Sumatera Utara mungkin terlihat tidak signifikan secara geografis. Namun secara politik dan historis, ini menjadi titik nyala baru dalam relasi Aceh–Jakarta. Di tengah semangat perdamaian dan rekonsiliasi yang dibangun selama dua dekade terakhir, insiden ini menjadi pengingat bahwa otonomi bukan hanya tentang undang-undang, melainkan penghormatan pada martabat, identitas, dan sejarah lokal. Jika tidak ditangani dengan arif dan bijaksana, kasus ini dapat menjadi api kecil yang menyala di tengah semak damai yang rapuh.