PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), perusahaan tekstil raksasa asal Solo, Jawa Tengah, kini menjadi sorotan bukan karena kesuksesan bisnisnya, tetapi karena keterlibatannya dalam pusaran korupsi kredit jumbo senilai triliunan rupiah. Kasus ini tidak hanya menyangkut aspek hukum formal, tetapi juga menyentuh ranah moralitas dalam manajemen perusahaan dan kebijakan perbankan. Artikel ini membahas secara mendalam keterkaitan antara moralitas dan hukum dalam kasus Sritex, serta dampaknya bagi para buruh dan kepercayaan publik.
Latar Belakang Kasus Sritex
Proses Kepailitan dan Dugaan Kredit Bermasalah
Pada awal 2025, Pengadilan Niaga Semarang memutuskan PT Sritex dalam kondisi pailit setelah perusahaan gagal membayar utang dan restrukturisasi melalui PKPU dinyatakan gagal. Keputusan Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan manajemen Sritex, mempertegas status pailit tersebut. Namun, hal yang lebih mencengangkan adalah terkuaknya fakta bahwa sebagian besar utang berasal dari fasilitas kredit sindikasi bernilai fantastis yang melibatkan sejumlah bank nasional dan daerah.
Investigasi Kejaksaan dan Penetapan Tersangka
Kejaksaan Agung menetapkan sejumlah tersangka dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit kepada Sritex, termasuk mantan Dirut Sritex, Iwan Setiawan Lukminto. Dugaan ini menyebut adanya manipulasi dan penyalahgunaan dana kredit sebesar Rp2,1 triliun dari bank-bank seperti BJB, Bank DKI, Bank Jateng, dan LPEI. Penyaluran kredit yang minim agunan dan tidak sesuai prinsip kehati-hatian menjadi sorotan tajam aparat penegak hukum.

Perspektif Moral dalam Hukum Korporasi
Moralitas dalam Tata Kelola Perusahaan
Kasus Sritex menjadi cermin bagaimana lemahnya tata kelola (good corporate governance) dapat membuka jalan bagi penyimpangan etika dan hukum. Praktik pemberian kredit yang sarat intervensi, laporan keuangan yang diduga dimanipulasi, dan tidak adanya transparansi kepada publik mencerminkan rusaknya moralitas dalam manajemen korporasi.
Tanggung Jawab Sosial dan Etika Bisnis
Sebagai perusahaan besar yang mempekerjakan lebih dari 10.000 pekerja, Sritex memiliki tanggung jawab sosial tinggi. Namun, dalam kasus ini, para buruh justru menjadi korban utama. Banyak yang kehilangan pekerjaan dan belum menerima pesangon, sementara elite korporasi masih bertarung di meja hukum. Hal ini menimbulkan pertanyaan: sejauh mana moralitas hukum melindungi kelompok paling rentan dalam krisis korporasi?
Dampak Sosial dan Ekonomi dari Kasus Sritex
Nasib Buruh Pasca Pailit
Ribuan buruh Sritex kini berada dalam ketidakpastian. Upah yang tertunggak, pesangon yang tidak dibayarkan, serta tidak adanya jaminan pekerjaan baru menciptakan kondisi sosial yang rawan. Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan mendesak manajemen kurator untuk memprioritaskan hak-hak buruh, tetapi proses hukum dan likuidasi berjalan lambat.
Kepercayaan Publik Terhadap Perbankan
Kasus ini juga menghantam reputasi sejumlah bank daerah dan nasional yang terlibat dalam pemberian kredit kepada Sritex. Masyarakat mempertanyakan bagaimana mungkin bank bisa memberikan kredit besar tanpa agunan yang kuat. Ini menjadi pengingat pentingnya moralitas dalam tata kelola perbankan, serta urgensi memperkuat regulasi internal terhadap manajemen risiko.

Dimensi Hukum: Antara Perdata dan Pidana
Perbedaan Penanganan Kasus
Dari sisi hukum, kasus Sritex mengandung dua dimensi: perdata (pailit) dan pidana (korupsi kredit). Meski status pailit ditetapkan melalui Pengadilan Niaga, proses pidana sedang berlangsung di Kejaksaan Agung. Hal ini menimbulkan tantangan tersendiri dalam sinkronisasi penegakan hukum agar tidak menimbulkan kerugian ganda bagi pihak ketiga seperti pekerja dan kreditur kecil.
Relevansi Prinsip Kehati-hatian dan Due Diligence
Dalam hukum perbankan, prinsip kehati-hatian dan due diligence menjadi landasan utama. Namun dalam kasus ini, prinsip tersebut tampak diabaikan. Investigasi menunjukkan bahwa ada potensi campur tangan politik dan kekuasaan dalam proses pencairan kredit, sesuatu yang memperburuk citra integritas sektor keuangan nasional.
Refleksi Etika dan Keadilan dalam Sistem Hukum
Perlindungan terhadap Pekerja
Dalam situasi seperti ini, hukum idealnya tidak hanya mengadili para pelaku korupsi, tetapi juga memastikan keadilan sosial, khususnya bagi buruh. Sayangnya, perlindungan terhadap hak pekerja sering kali terabaikan karena hukum lebih fokus pada aspek pidana dan perdata formal.
Pentingnya Reformasi Korporasi dan Perbankan
Kasus Sritex menunjukkan pentingnya reformasi menyeluruh dalam sistem tata kelola perusahaan dan mekanisme pemberian kredit oleh perbankan. Tanpa reformasi yang menyentuh akar masalah, kasus serupa berpotensi terulang kembali.

Harapan dan Rekomendasi Kebijakan
Percepatan Penyelesaian Hak Buruh
Pemerintah perlu membentuk tim khusus yang mengawasi pelaksanaan hak buruh pasca-pailit. Dana talangan sementara atau skema jaminan sosial bisa menjadi solusi sementara sampai proses likuidasi selesai.
Audit dan Investigasi Menyeluruh
Audit independen terhadap laporan keuangan Sritex dan bank pemberi kredit harus dilakukan. Lembaga pengawas keuangan seperti OJK perlu meninjau ulang proses internal mereka agar tidak mudah dimanipulasi oleh perusahaan besar.
Edukasi Etika Bisnis dan Hukum
Perlu ada kurikulum khusus tentang etika bisnis dan tanggung jawab sosial di lingkungan akademik dan pelatihan manajerial perusahaan. Etika harus menjadi bagian dari sistem, bukan sekadar jargon.
Menutup Luka: Membangun Ulang Moral dan Kepercayaan
Kasus Sritex merupakan pelajaran penting tentang bagaimana hukum, etika, dan ekonomi saling terkait. Tidak cukup menyelesaikan kasus ini melalui pengadilan semata. Perlu ada pendekatan komprehensif yang menjunjung tinggi keadilan sosial, integritas lembaga keuangan, dan tanggung jawab moral pelaku usaha. Dalam jangka panjang, itulah yang akan menentukan arah kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan dunia usaha Indonesia.