Belakangan, para pemilik kafe dan restoran di Indonesia dibuat resah oleh aturan baru yang mengharuskan pembayaran royalti untuk setiap pemutaran suara alam dan kicauan burung di ruang publik. Situasi ini sempat mengundang polemik dan pertanyaan dari banyak pihak: benarkah suara burung atau suara gemericik air juga masuk objek royalti, padahal bukan karya cipta seperti lagu atau musik populer?
Isu ini mencuat seiring pengawasan lebih ketat oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan penegakan Undang-Undang Hak Cipta. Fenomena “royalti suara alam” menuai pro-kontra di masyarakat, khususnya di kalangan pelaku industri F&B yang banyak memanfaatkan efek suara alam untuk menciptakan suasana nyaman di ruang usahanya.
Dari Mana Awal Mula Suara Alam Jadi Objek Royalti?
Aturan Royalti: Melindungi Karya Rekaman, Bukan Sekadar Suara Alam
Pemahaman awam kerap keliru mengira royalti suara alam berlaku untuk semua suara yang terdengar di alam bebas. Faktanya, yang menjadi objek royalti adalah rekaman suara alam atau kicauan burung yang telah diproses, direkam, diedit, dan diterbitkan secara resmi oleh produser, label, atau sound designer.
Misalnya, jika sebuah kafe memutar track suara burung yang diunduh dari library profesional atau aplikasi streaming, maka rekaman tersebut adalah hasil karya yang secara hukum dilindungi hak cipta, sama seperti lagu. Jika rekaman ini digunakan secara komersial, misal untuk latar suasana di restoran, pemilik usaha wajib membayar royalti kepada pencipta atau produser rekaman sesuai aturan.
Menurut Kompas.com (2024), Ketua LMKN Candra Darusman menegaskan, royalti hanya berlaku pada karya rekaman—termasuk suara alam—yang masuk dalam katalog resmi dan didaftarkan ke LMKN. Jika suara burung direkam sendiri di halaman rumah atau sawah dan diputar di kafe tanpa diedarkan, itu tidak termasuk objek royalti.

Hak Cipta, Royalti, dan Perlindungan Karya di Era Digital
Hak Cipta Rekaman Suara Alam: Landasan Hukum dan Logika Ekonomi
Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menegaskan bahwa hak cipta tidak hanya berlaku untuk lagu atau musik, tapi juga rekaman suara yang telah melalui proses produksi dan pendistribusian. Rekaman suara alam, setelah melalui editing, mixing, mastering, dan diedarkan ke publik sebagai bagian katalog, menjadi hasil karya kreatif yang dilindungi.
Dalam dunia audio profesional, proses merekam suara alam—seperti kicauan burung, suara hujan, deburan ombak—memerlukan keahlian, investasi alat, dan waktu yang tidak sedikit. Hak ekonomi pencipta, produser, atau label rekaman atas karya ini dilindungi negara agar karya mereka tidak digunakan sembarangan tanpa kompensasi.
Kenapa Kafe dan Restoran Wajib Bayar Royalti?
Kafe, restoran, hotel, spa, dan ruang publik lainnya memutar rekaman suara alam sebagai bagian dari layanan untuk menciptakan ambience yang nyaman bagi pengunjung. Ketika rekaman yang diputar adalah karya orang lain, maka ada kewajiban etik dan hukum untuk memberikan royalti. Sama seperti pemutaran musik atau lagu populer, pemanfaatan rekaman suara alam juga masuk objek pengelolaan LMKN.
Menurut DJKI Kemenkumham, royalti dibayarkan berdasarkan lisensi penggunaan—bukan sekadar berdasarkan jenis suara. Artinya, jika suara yang digunakan berasal dari rekaman komersial atau katalog digital (Spotify, Apple Music, YouTube, dan sebagainya), maka secara hukum ada hak ekonomi yang harus dibayarkan.
Studi Kasus di Indonesia: Protes, Klarifikasi, dan Realitas Lapangan
Kisruh di Industri F&B: Salah Kaprah dan Sosialisasi
Banyak pemilik kafe dan restoran merasa heran bahkan menolak saat tiba-tiba mendapat surat penagihan royalti atas suara burung dan suara alam yang mereka putar di ruang usaha. Mereka menganggap aturan ini tidak masuk akal, sebab suara burung di alam bebas tidak mungkin diatur hak ciptanya.
Namun, setelah dilakukan sosialisasi, terkuak bahwa yang diatur adalah pemutaran rekaman suara alam dari katalog resmi—bukan suara langsung dari alam. Ketua LMKN beberapa kali menegaskan dalam wawancara bahwa LMKN tidak pernah menagih royalti pada suara burung yang direkam sendiri oleh pemilik kafe dan tidak diedarkan.
Media Internasional: Fenomena yang Juga Terjadi di Luar Negeri
Tak hanya di Indonesia, aturan serupa juga berlaku di Eropa, Amerika Serikat, hingga Jepang. Di negara-negara ini, library efek suara (sound library) sudah lama jadi objek royalti karena dianggap hasil karya dan investasi. Produser atau label rekaman berhak mendapat kompensasi jika karya mereka digunakan untuk keperluan komersial di ruang publik.

Perbedaan Suara Alam Bebas dan Rekaman Berhak Cipta
Kapan Suara Alam Tidak Kena Royalti?
Suara alam yang tidak berasal dari rekaman berhak cipta tidak wajib dibayar royalti. Misal, jika seorang barista merekam sendiri kicauan burung di pagi hari di kebun belakang kafe lalu memutarnya, itu bukan objek royalti. Begitu juga jika suara yang dipakai bersumber dari library free-to-use (lisensi Creative Commons) yang tidak mengatur kompensasi finansial.
Platform Digital dan Streaming: Sumber Royalti Baru
Dengan kemudahan akses internet, banyak pemilik usaha kini memutar playlist ambience dari platform streaming. Banyak dari katalog ambience ini—termasuk suara hujan, sungai, burung—diunggah oleh musisi, sound engineer, atau label, lengkap dengan metadata hak cipta. Setiap kali diputar di ruang usaha, penyedia platform berhak memungut royalti yang nantinya didistribusikan ke pemilik hak.
Penarikan dan Penyaluran Royalti oleh LMKN
Mekanisme Lisensi di Indonesia
LMKN bertugas mengelola, menagih, dan mendistribusikan royalti kepada pencipta, pemilik hak terkait, dan produser rekaman. Setiap pelaku usaha yang memutar karya berhak cipta harus mengajukan lisensi publik—bisa tahunan atau per event—dan membayar royalti sesuai penggunaan. Termasuk di dalamnya musik, lagu, hingga efek suara alam yang berasal dari katalog resmi.
Sosialisasi LMKN kini makin gencar, terutama karena masih banyak pelaku usaha yang belum memahami perbedaan antara suara bebas dan rekaman berhak cipta. DJKI Kemenkumham bahkan menggelar forum edukasi agar masyarakat tidak terjebak salah paham.
Transparansi, Tarif, dan Tantangan di Lapangan
Tarif royalti biasanya dihitung berdasar luas ruangan, jumlah kursi, lama pemutaran, dan jenis usaha. LMKN memastikan bahwa dana yang masuk benar-benar didistribusikan ke pencipta, produser, serta pemilik katalog yang terdaftar resmi. Namun, di lapangan, praktik penarikan royalti sering diwarnai kebingungan dan adu argumentasi soal jenis rekaman dan bukti lisensi.
Manfaat dan Alasan Diterapkannya Royalti Suara Alam
Melindungi Kreator dan Mendorong Industri Audio
Tanpa royalti, industri sound library dan audio ambience akan kesulitan berkembang. Banyak sound designer lokal kini mulai membuat katalog suara alam Indonesia—mulai dari hutan Kalimantan hingga pesisir Papua—yang kemudian dijual atau didistribusikan global. Dengan perlindungan royalti, mereka punya insentif berinovasi dan mendokumentasikan keindahan alam secara profesional.
Royalti untuk Keberlanjutan Bisnis Kreatif
Royalti tidak hanya melindungi hak ekonomi kreator, tetapi juga mendukung ekosistem industri musik dan audio. Dana dari royalti bisa digunakan untuk riset, pengembangan teknologi perekaman, hingga pengarsipan suara langka Indonesia yang berpotensi punah.

Tantangan Sosialisasi dan Masa Depan Royalti Suara Alam
Edukasi ke Masyarakat dan Pelaku Usaha
Salah satu tantangan terbesar adalah edukasi dan sosialisasi ke pelaku usaha. Masih banyak yang belum memahami perbedaan suara bebas dan rekaman berhak cipta, sehingga kerap salah kaprah atau bahkan enggan membayar royalti. LMKN, DJKI, serta komunitas kreator audio perlu bahu-membahu mensosialisasikan aturan ini agar lebih transparan dan adil.
Harapan Adaptasi di Era Digital
Seiring berkembangnya teknologi, rekaman suara alam semakin mudah dibuat—bahkan kini dengan bantuan AI. Regulasi pun perlu terus diperbarui agar tetap relevan dan melindungi semua pihak, tanpa mematikan kreativitas dan semangat berbagi karya di ruang digital.
Bijak Menghargai Karya, Bijak Menikmati Suasana
Royalti untuk pemutaran suara alam dan kicauan burung di kafe atau restoran bukan semata-mata aturan kaku tanpa logika. Ia lahir sebagai bentuk penghargaan pada karya kreator rekaman yang telah berinvestasi waktu, keahlian, dan dana untuk menghasilkan suara berkualitas. Bagi pelaku usaha, pemahaman hukum dan etika sangat penting agar bisnis tetap berjalan lancar, kreator terlindungi, dan masyarakat luas bisa menikmati ambience yang alami tanpa melanggar hak siapa pun.