Kasus kekerasan seksual yang menyeret nama I Wayan Agus Suartama, atau lebih dikenal dengan sebutan Agus Buntung, menjadi sorotan luas publik di Indonesia. Vonis sepuluh tahun penjara yang dijatuhkan oleh majelis hakim terhadap penyandang disabilitas ini menuai banyak reaksi. Perjalanan kasus ini tak hanya menyita perhatian karena beratnya dakwaan, tetapi juga karena mempertanyakan aspek keadilan, perlindungan korban, serta kesetaraan di mata hukum.
Awal Mula Terungkapnya Kasus
Laporan Para Korban
Kasus ini bermula dari sejumlah laporan korban yang mengaku mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh Agus. Laporan tersebut diajukan ke kepolisian di Mataram, Nusa Tenggara Barat, dan segera ditindaklanjuti. Dugaan yang dilaporkan bukan hanya pelecehan, tetapi juga pemaksaan dengan pola manipulatif yang mengeksploitasi posisi pelaku sebagai figur yang dekat dengan komunitas disabilitas. Para korban terdiri dari perempuan dewasa muda yang sebagian besar mengaku awalnya mendekat karena melihat Agus sebagai tokoh inspiratif.
Penangkapan dan Penahanan
Setelah penyelidikan awal menunjukkan cukup bukti, Agus Buntung ditangkap dan ditahan. Penahanan ini disertai dengan berbagai barang bukti dan keterangan dari saksi yang memperkuat sangkaan terhadapnya. Selama masa penahanan, banyak media lokal dan nasional menyoroti dinamika sosial yang menyertai kasus ini, termasuk perdebatan seputar perlakuan terhadap pelaku dari kelompok penyandang disabilitas.

Proses Hukum yang Berlangsung
Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Agus dengan pidana 12 tahun penjara dan denda sebesar Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan. Tuntutan ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, khususnya pasal yang mengatur kekerasan seksual non-fisik yang disertai paksaan dan ancaman. JPU menyampaikan bahwa terdakwa memanfaatkan kondisi sosial dan fisik tertentu untuk mendekati dan memanipulasi para korban.
Sidang dan Pembelaan
Selama persidangan, tim penasihat hukum Agus menyampaikan pembelaan bahwa terdakwa tidak memiliki niat jahat dan menyatakan bahwa beberapa tuduhan bersifat persepsi. Mereka juga membawa ahli psikologi sebagai saksi yang menyebutkan bahwa Agus mengalami tekanan psikologis dan gangguan emosi ringan. Akan tetapi, dalam putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa bukti dan kesaksian korban konsisten dan saling menguatkan.
Putusan Pengadilan dan Reaksi
Vonis Sepuluh Tahun Penjara
Pada 27 Mei 2025, majelis hakim Pengadilan Negeri Mataram menyatakan Agus Buntung bersalah dan menjatuhkan vonis 10 tahun penjara serta denda Rp100 juta. Vonis ini lebih ringan dibanding tuntutan JPU karena hakim mempertimbangkan sikap kooperatif Agus selama proses hukum dan kondisi fisiknya sebagai penyandang disabilitas. Namun, vonis tersebut juga mempertimbangkan bahwa korban yang menjadi sasaran Agus mengalami trauma jangka panjang.
Tanggapan Penasihat Hukum dan Korban
Penasihat hukum Agus menyatakan menghormati putusan tersebut, meski menyayangkan bahwa beberapa argumen pembelaan tidak dijadikan dasar pertimbangan hakim. Mereka mempertimbangkan untuk mengajukan banding. Sementara itu, pihak korban mengapresiasi keberanian para penyintas untuk bersuara dan berharap vonis ini memberi rasa keadilan dan efek jera. Beberapa korban diwakili oleh lembaga pendamping perempuan korban kekerasan.

Isu Kesetaraan dan Perlindungan Hukum
Diskusi Publik: Hukum vs Empati
Kasus ini memunculkan debat publik yang tajam. Di satu sisi, ada yang menilai vonis terhadap Agus sudah tepat sebagai bentuk penghormatan terhadap korban. Di sisi lain, sebagian publik menyuarakan bahwa disabilitas Agus seharusnya menjadi bahan pertimbangan etis yang lebih mendalam. Beberapa aktivis disabilitas menyuarakan keprihatinan bahwa masyarakat umum dengan cepat menghakimi penyandang disabilitas tanpa memperhatikan kompleksitas kondisi psikososial mereka.
Perlindungan Korban Sebagai Prioritas
Namun secara umum, mayoritas organisasi perempuan dan kelompok perlindungan korban mendukung langkah tegas pengadilan. Mereka menegaskan bahwa keadilan tidak boleh diskriminatif, dan semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum, termasuk dalam hal pertanggungjawaban pidana. Mereka juga menyerukan pentingnya pemulihan psikososial bagi korban, bukan hanya fokus pada pemidanaan pelaku.
Dinamika Sosial: Antara Dukungan dan Stigma
Komunitas Disabilitas Terbelah
Dampak dari kasus ini cukup besar di kalangan komunitas disabilitas. Sebagian memberikan dukungan moril kepada Agus sebagai sesama penyandang disabilitas, sementara sebagian lainnya menegaskan bahwa kejahatan tetap harus dihukum tanpa pengecualian. Muncul wacana pentingnya etika dan pendidikan seksual di komunitas penyandang disabilitas agar kasus serupa tidak berulang.
Media dan Representasi
Liputan media terhadap kasus Agus Buntung juga menjadi bahan evaluasi. Beberapa media dinilai terlalu menonjolkan disabilitas pelaku, yang bisa berdampak negatif terhadap stereotipe terhadap kelompok difabel. Organisasi jurnalis menyerukan agar pemberitaan lebih adil dan edukatif, berfokus pada peristiwa dan korban, bukan latar belakang personal pelaku.

Reformasi Penanganan Kasus Kekerasan Seksual
Undang-Undang TPKS sebagai Instrumen Hukum
UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dianggap sebagai tonggak penting dalam menangani kasus seperti ini. Namun, masih diperlukan pelatihan dan penguatan SDM penegak hukum untuk mengimplementasikan undang-undang ini secara konsisten.
Kebutuhan Layanan Terpadu
Kasus Agus Buntung menegaskan bahwa layanan hukum harus terintegrasi dengan pemulihan korban. Diperlukan layanan kesehatan mental, perlindungan hukum, dan sosial yang saling terhubung. Pemerintah daerah didorong untuk memperkuat pusat layanan terpadu bagi korban kekerasan seksual di seluruh Indonesia.
Keadilan Tidak Pandang Status
Perjalanan hukum Agus Buntung memberikan pelajaran penting tentang kompleksitas penegakan hukum dalam kasus-kasus kekerasan seksual. Dalam negara hukum, identitas atau latar belakang pelaku tidak boleh menjadi alasan untuk mengaburkan tanggung jawab. Vonis 10 tahun yang dijatuhkan terhadap Agus adalah bentuk penegasan bahwa hukum harus berpihak kepada korban, menjunjung keadilan, serta menciptakan ruang aman bagi semua lapisan masyarakat dari kekerasan seksual.
Kasus ini diharapkan menjadi preseden untuk memperkuat upaya perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, serta membuka diskusi lebih lanjut mengenai pendekatan hukum terhadap pelaku dari kelompok rentan tanpa menghilangkan akuntabilitas mereka.