Kenaikan PPN menjadi 12 persen telah menjadi isu hangat di kalangan masyarakat Indonesia. Kebijakan ini diatur dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan pada 2021. Sebelumnya, tarif PPN naik dari 10 persen menjadi 11 persen pada April 2022, dan akan naik lagi menjadi 12 persen paling lambat pada 2025.
Namun, banyak pihak mempertanyakan apakah kebijakan ini bisa dibatalkan atau direvisi, mengingat dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan iklim usaha. Dalam artikel ini, kita akan membahas secara rinci dasar hukum, mekanisme pembatalan kebijakan, dan pandangan para ahli terkait isu ini.
Apa Itu UU HPP dan Mengapa PPN Dinaikkan?
Dasar Hukum UU HPP
UU HPP disahkan pada 29 Oktober 2021 sebagai bagian dari upaya reformasi perpajakan di Indonesia. Salah satu tujuan utama UU ini adalah untuk meningkatkan penerimaan negara sekaligus menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan efisien.
Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen tercantum dalam Pasal 7 UU HPP, yang menyebutkan bahwa tarif PPN akan naik secara bertahap:
- Dari 10 persen menjadi 11 persen pada April 2022.
- Menjadi 12 persen paling lambat pada tahun 2025.
Alasan Kenaikan PPN
Pemerintah memiliki beberapa alasan untuk menaikkan tarif PPN:
- Peningkatan Pendapatan Negara: Kenaikan PPN diharapkan meningkatkan penerimaan negara untuk mendanai pembangunan infrastruktur dan layanan publik.
- Reformasi Pajak: Pemerintah ingin menciptakan sistem pajak yang lebih luas cakupannya, mengurangi ketergantungan pada sektor tertentu.
- Penyesuaian dengan Standar Global: Tarif PPN Indonesia dinilai lebih rendah dibandingkan rata-rata negara lain di ASEAN, yang berada di kisaran 12–15 persen.
Dampak Kenaikan PPN terhadap Ekonomi
Kenaikan PPN memiliki dampak yang signifikan terhadap berbagai aspek ekonomi.
1. Pengaruh terhadap Daya Beli
Kenaikan tarif PPN meningkatkan harga barang dan jasa, yang secara langsung menekan daya beli masyarakat, terutama golongan menengah ke bawah. Barang kebutuhan pokok yang terkena PPN akan menjadi lebih mahal, memengaruhi pengeluaran rumah tangga.
2. Beban Bagi Pelaku Usaha
Para pelaku usaha, terutama UMKM, menghadapi tantangan besar dengan kenaikan tarif PPN. Harga jual yang lebih tinggi dapat mengurangi daya saing produk mereka di pasar domestik dan internasional.
3. Potensi Inflasi
Peningkatan tarif PPN dapat memicu inflasi karena kenaikan harga barang dan jasa. Meskipun inflasi ini mungkin bersifat sementara, dampaknya tetap dirasakan oleh masyarakat.
Bisakah Kebijakan Kenaikan PPN Menjadi 12 Persen Dibatalkan?
Pembatalan kebijakan kenaikan PPN bukanlah hal yang mudah karena kebijakan ini memiliki dasar hukum yang kuat di dalam UU HPP. Namun, ada beberapa mekanisme yang memungkinkan revisi atau pembatalan kebijakan.
1. Judicial Review di Mahkamah Konstitusi (MK)
Masyarakat atau kelompok tertentu dapat mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi jika mereka merasa bahwa kebijakan kenaikan PPN melanggar hak konstitusional. Namun, pembatalan melalui mekanisme ini membutuhkan argumen hukum yang kuat.
2. Revisi UU di DPR
Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat merevisi UU HPP melalui proses legislasi. Revisi ini bisa dilakukan jika ada tekanan politik atau ekonomi yang cukup besar.
3. Kebijakan Eksekutif
Pemerintah dapat menunda implementasi kenaikan PPN melalui kebijakan eksekutif, seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Namun, langkah ini biasanya hanya diambil dalam situasi darurat.
Pandangan Para Ahli dan Pemangku Kepentingan
1. Perspektif Ekonom
Beberapa ekonom menilai bahwa kenaikan PPN menjadi 12 persen perlu dikaji ulang karena dampaknya terhadap daya beli masyarakat. Menurut mereka, pemerintah sebaiknya mencari sumber pendapatan lain, seperti peningkatan kepatuhan pajak.
2. Pendapat Pelaku Usaha
Pelaku usaha, terutama dari sektor UMKM, mengkhawatirkan bahwa kenaikan tarif PPN akan menurunkan daya saing produk mereka. Mereka berharap pemerintah memberikan insentif atau pengecualian untuk barang-barang tertentu.
3. Pandangan Pemerintah
Pemerintah berargumen bahwa kenaikan PPN adalah langkah yang diperlukan untuk memastikan keberlanjutan fiskal. Namun, pemerintah juga berjanji untuk memperkuat program perlindungan sosial guna meringankan beban masyarakat.
Apakah Ada Contoh Negara yang Membatalkan Kenaikan PPN?
Beberapa negara pernah menunda atau membatalkan kenaikan tarif PPN karena tekanan ekonomi dan sosial. Contohnya:
- Jepang: Pada 2015, pemerintah menunda kenaikan tarif PPN dari 8 persen menjadi 10 persen karena ekonomi Jepang menghadapi risiko resesi.
- India: Pemerintah India membatalkan rencana kenaikan tarif pajak barang dan jasa (GST) pada beberapa sektor karena protes besar-besaran dari masyarakat.
Namun, pembatalan atau penundaan kebijakan seperti ini sering kali memiliki dampak pada defisit anggaran pemerintah.
Langkah Apa yang Dapat Diambil Masyarakat?
Masyarakat yang ingin mengupayakan pembatalan kenaikan PPN dapat melakukan beberapa langkah:
- Menyuarakan Aspirasi: Menggunakan platform media sosial atau petisi untuk menyampaikan penolakan terhadap kenaikan PPN.
- Advokasi Melalui Organisasi: Bergabung dengan organisasi masyarakat sipil atau asosiasi pelaku usaha yang memperjuangkan revisi kebijakan ini.
- Mengajukan Judicial Review: Jika terdapat dasar hukum yang kuat, masyarakat dapat mengajukan judicial review ke MK.
Apakah Kenaikan PPN 12 Persen Masih Bisa Dihentikan?
Kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen memiliki dasar hukum yang kuat dalam UU HPP, sehingga pembatalannya membutuhkan proses hukum atau politik yang kompleks. Namun, tekanan ekonomi dan sosial dapat mendorong pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan ini.
Langkah yang paling realistis adalah mengupayakan revisi kebijakan melalui dialog antara pemerintah, DPR, dan pemangku kepentingan lainnya. Pemerintah juga perlu memastikan bahwa kebijakan ini disertai dengan program perlindungan sosial yang memadai untuk mengurangi dampak negatif pada masyarakat.
Bagi masyarakat, penting untuk terus memantau perkembangan kebijakan ini dan menyuarakan aspirasi dengan cara yang konstruktif. Dengan kerja sama semua pihak, kebijakan pajak yang adil dan efisien dapat diwujudkan tanpa mengorbankan kesejahteraan masyarakat.