Konflik bersenjata antara Thailand dan Kamboja telah lama menjadi sorotan Asia Tenggara. Perang perbatasan yang meletus beberapa kali dalam dua dekade terakhir ini bukan hanya soal klaim wilayah, tapi juga menciptakan ketakutan, trauma, dan duka bagi ribuan keluarga di kedua negara serta warga negara asing yang bermukim di zona rawan, termasuk WNI. Artikel ini membahas akar penyebab perang, jumlah korban berdasarkan data resmi, dan kondisi nyata WNI di garis batas kedua negara.
Latar Belakang dan Pemicu Konflik
Sejarah Panjang Sengketa dan Warisan Kolonial
Sengketa Thailand-Kamboja berakar dari batas wilayah yang tidak pernah selesai sejak era Kerajaan Khmer dan Siam. Masuknya kolonial Prancis ke Kamboja memperkeruh batas, karena peta kolonial menetapkan Candi Preah Vihear masuk wilayah Kamboja, walau Thailand merasa punya hak sejarah atasnya. Sejak Mahkamah Internasional (ICJ) pada 1962 memutuskan candi itu milik Kamboja, perasaan tidak puas tetap membara di Thailand.
Pemicu Utama: Nasionalisme, Politik, dan Sumber Daya
Ketegangan meningkat tajam sejak 2008, saat Kamboja mendaftarkan Preah Vihear ke UNESCO. Reaksi di Thailand berubah jadi unjuk kekuatan militer, disusul baku tembak di perbatasan. Sentimen nasionalisme, perubahan politik di Bangkok dan Phnom Penh, serta perebutan lahan subur dan sumber air memperumit situasi. Sengketa juga melibatkan faktor ekonomi dan pembangunan infrastruktur di zona rawan.

Kronologi Konflik dan Eskalasi Perang
Rentetan Bentrokan 2008–2011
Periode 2008–2011 menjadi puncak eskalasi. Kedua negara menambah pasukan, memindahkan artileri berat, dan menutup akses warga ke zona candi. Baku tembak, ledakan mortir, serta kerusakan rumah dan pasar meluas. Banyak sekolah dan desa kosong karena penduduk mengungsi ke wilayah yang lebih aman.
Upaya Damai dan Gencatan Senjata
ASEAN berulang kali menengahi, memediasi dialog, dan mengirim pengamat ke zona konflik. Namun, gencatan senjata acap kali hanya bertahan singkat. Sentimen nasionalisme dan tekanan politik domestik membuat situasi tetap rawan hingga kini.
Jumlah Korban dan Dampak Sosial Ekonomi
Data Korban Jiwa dan Pengungsian
Laporan resmi menyebutkan lebih dari 30 prajurit tewas di kedua pihak selama konflik 2008–2011. Ratusan lainnya luka, sebagian cacat permanen. Setidaknya 10 korban sipil meninggal akibat peluru nyasar dan ledakan. Lebih dari 50.000 warga mengungsi setiap kali baku tembak membesar, kehilangan rumah, lahan, dan akses pendidikan. Trauma dan kemiskinan menjadi dampak jangka panjang.
Kerusakan Infrastruktur dan Pemulihan Lambat
Rumah, sekolah, fasilitas kesehatan, serta bagian dari Preah Vihear dan desa sekitar rusak parah akibat artileri dan kebakaran. Proses rekonstruksi berjalan lambat karena keamanan tak menentu dan ekonomi desa lumpuh.

Penyebab Berkelanjutan dan Dinamika Politik
Politik Identitas dan Ekonomi Lokal
Kedua pemerintah kerap memanfaatkan isu perbatasan untuk menggalang dukungan saat krisis domestik. Rakyat di kawasan perbatasan hidup dalam curiga dan sering jadi korban propaganda. Sementara itu, petani, pedagang, dan buruh setempat kehilangan akses ke lahan dan pasar.
Persaingan Sumber Daya dan Wisata
Lahan subur dan potensi wisata Preah Vihear membuat zona ini sangat strategis. Setiap upaya pembangunan di kawasan sengketa berpotensi memicu insiden baru. Ketidakpastian ekonomi mendorong banyak warga lokal bermigrasi, memperbesar tekanan sosial.
Kondisi WNI di Perbatasan Thailand-Kamboja
Sebaran dan Risiko WNI di Zona Konflik
Data KBRI mencatat ada puluhan hingga ratusan WNI bermukim atau bekerja di wilayah perbatasan, terutama sebagai pekerja perkebunan, pedagang, hingga staf organisasi kemanusiaan. Tiap kali terjadi konflik, mereka masuk kelompok rentan dan diprioritaskan dalam evakuasi.
Upaya Perlindungan dan Kisah Nyata
Pemerintah Indonesia melalui KBRI Bangkok dan Phnom Penh rutin melakukan pendataan, edukasi, dan simulasi evakuasi. Saat konflik memuncak, WNI dipindahkan ke zona aman. Beberapa WNI mengaku pernah mengungsi dengan terburu-buru akibat suara ledakan atau pergerakan tank, kehilangan harta benda, bahkan pekerjaan.
KBRI juga menyediakan jalur komunikasi darurat, bekerja sama dengan NGO lokal, serta memastikan kebutuhan pangan, air bersih, dan medis bagi WNI pengungsi. Solidaritas komunitas Indonesia sangat terasa dalam masa-masa genting.

Upaya Perdamaian dan Harapan Masa Depan
Diplomasi ASEAN dan Peran Indonesia
ASEAN aktif menjadi mediator, mengupayakan dialog bilateral dan pengiriman pengamat ke zona konflik. Indonesia berperan besar mendorong kedua negara menahan diri, mematuhi hukum internasional, dan mengutamakan perlindungan warga sipil.
Rekonsiliasi Sosial Ekonomi
Pemerintah kedua negara bersama komunitas internasional kini mulai fokus pada pemulihan ekonomi, pembangunan sekolah, dan pasar bersama di zona perbatasan. Program pertukaran budaya dan pelatihan kerja diupayakan agar kawasan perbatasan tak hanya jadi medan konflik, melainkan ruang damai dan kemakmuran bersama.
Tantangan dan Optimisme di Balik Batas Negara
Perang Thailand-Kamboja adalah ujian bagi stabilitas kawasan dan perlindungan warga sipil. Ribuan korban, trauma, serta tantangan hidup nyata bagi WNI di perbatasan menjadi pengingat pentingnya diplomasi, perlindungan kemanusiaan, dan komitmen damai. Hanya dengan kerja sama lintas batas dan kesadaran kolektif, kawasan ini bisa pulih dan menawarkan masa depan yang lebih baik.