QRIS Kena PPN 12%? Ini Penjelasan Ditjen Pajak dan Dampaknya

Keuangan38 Views

Transaksi menggunakan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) semakin diminati masyarakat Indonesia sebagai alternatif pembayaran digital yang praktis dan cepat. Namun, kabar tentang pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% pada transaksi QRIS memicu berbagai pertanyaan dari masyarakat. Ditjen Pajak pun memberikan penjelasan lengkap mengenai hal ini, termasuk alasan di balik kebijakan tersebut dan bagaimana dampaknya terhadap pengguna serta pelaku usaha.

Dalam artikel ini, kita akan mengupas tuntas mengenai penerapan PPN 12% pada pembayaran menggunakan QRIS, dasar hukum yang mendasarinya, serta pandangan para ahli terhadap kebijakan ini.

Apa Itu QRIS dan Perannya dalam Transaksi Digital?

Pengertian QRIS

QRIS adalah standar pembayaran digital berbasis kode QR yang dikembangkan oleh Bank Indonesia untuk mempermudah transaksi. Dengan QRIS, pengguna cukup memindai kode QR untuk melakukan pembayaran tanpa perlu menggunakan uang tunai atau kartu kredit. Sistem ini diterapkan untuk menyatukan berbagai platform pembayaran digital di Indonesia, sehingga menciptakan ekosistem pembayaran yang lebih efisien dan terintegrasi.

Pertumbuhan Penggunaan QRIS

Sejak diperkenalkan pada tahun 2019, penggunaan QRIS terus meningkat, terutama di era pandemi COVID-19. QRIS tidak hanya digunakan untuk transaksi di toko-toko besar, tetapi juga oleh pedagang kecil, warung, hingga UMKM. Kepraktisan dan kecepatan QRIS membuatnya menjadi pilihan utama bagi banyak orang.

Pengenaan PPN 12% pada QRIS: Dasar Hukum dan Penjelasan Ditjen Pajak

Dasar Hukum Pengenaan PPN

Pengenaan PPN pada transaksi menggunakan QRIS merujuk pada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang berlaku sejak 2022. Dalam UU tersebut, disebutkan bahwa semua transaksi barang dan jasa, baik secara tunai maupun digital, dikenakan PPN sebesar 11%. Namun, pada 2023, tarif ini meningkat menjadi 12% sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak negara.

Menurut Ditjen Pajak, penggunaan QRIS sebagai metode pembayaran tidak mengubah status transaksi itu sendiri. Jika barang atau jasa yang dibeli dikenakan PPN, maka pembayaran melalui QRIS juga akan mencakup PPN tersebut.

Penjelasan Ditjen Pajak

Ditjen Pajak menegaskan bahwa PPN 12% tidak dikenakan pada penggunaan QRIS sebagai alat pembayaran, melainkan pada transaksi barang atau jasa yang memang wajib dikenakan PPN. QRIS hanya berfungsi sebagai alat bantu pembayaran, sehingga masyarakat tidak perlu khawatir bahwa mereka akan dikenakan pajak tambahan hanya karena menggunakan QRIS.

Misalnya, jika Anda membeli barang senilai Rp100.000 yang termasuk dalam kategori barang kena pajak (BKP), total harga yang Anda bayarkan sudah mencakup PPN 12%, terlepas dari metode pembayaran yang digunakan.

Dampak Kebijakan Ini terhadap Masyarakat dan Pelaku Usaha

Bagi Pengguna QRIS

Bagi pengguna QRIS, penerapan PPN 12% mungkin akan menimbulkan kebingungan pada awalnya. Namun, Ditjen Pajak menegaskan bahwa tarif PPN ini tidak eksklusif untuk QRIS. Tarif yang sama berlaku untuk semua transaksi, baik menggunakan uang tunai, kartu kredit, maupun metode pembayaran lainnya.

Sebagai konsumen, Anda hanya perlu memastikan bahwa barang atau jasa yang Anda beli memang termasuk dalam kategori yang dikenakan PPN. Barang kebutuhan pokok, misalnya, umumnya dikecualikan dari pengenaan PPN.

Bagi Pelaku Usaha

Bagi pelaku usaha, pengenaan PPN 12% melalui QRIS berarti mereka harus lebih transparan dalam mencatat transaksi. Sistem pembayaran digital seperti QRIS mempermudah pelaporan pajak karena semua transaksi tercatat secara otomatis. Namun, hal ini juga mengharuskan pelaku usaha untuk memahami dan mematuhi aturan perpajakan dengan lebih baik.

Ditjen Pajak bekerja sama dengan Bank Indonesia dan penyedia layanan pembayaran untuk memastikan bahwa sistem QRIS mendukung penghitungan PPN secara otomatis, sehingga pelaku usaha tidak perlu repot menghitungnya secara manual.

Pandangan Ahli dan Reaksi Masyarakat

Dukungan terhadap Kebijakan

Sebagian ahli ekonomi mendukung kebijakan ini sebagai langkah untuk meningkatkan penerimaan pajak negara. Dalam konteks digitalisasi, pengenaan PPN pada transaksi QRIS dianggap wajar dan sejalan dengan prinsip keadilan perpajakan. Dengan sistem yang transparan, pemerintah dapat memastikan bahwa semua pelaku usaha, termasuk UMKM, berkontribusi dalam pembangunan negara.

Kritik terhadap Kebijakan

Namun, tidak sedikit pula yang mengkritik kebijakan ini. Beberapa pihak berpendapat bahwa pengenaan PPN 12% dapat membebani masyarakat, terutama di tengah pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa pelaku usaha kecil yang belum terbiasa dengan sistem perpajakan digital akan kesulitan beradaptasi.

Reaksi masyarakat juga beragam. Beberapa mengaku khawatir bahwa kebijakan ini akan mengurangi daya beli, sementara yang lain mendukungnya dengan catatan bahwa pemerintah harus memberikan edukasi yang memadai.

Langkah Edukasi dan Sosialisasi dari Ditjen Pajak

Untuk mengatasi kebingungan masyarakat, Ditjen Pajak terus melakukan sosialisasi mengenai pengenaan PPN 12% pada transaksi QRIS. Kampanye edukasi dilakukan melalui berbagai platform, termasuk media sosial, webinar, dan kolaborasi dengan pelaku usaha serta penyedia layanan pembayaran digital.

Ditjen Pajak juga mendorong pelaku usaha untuk memanfaatkan layanan konsultasi perpajakan yang tersedia, sehingga mereka dapat memahami kewajiban pajak mereka dengan lebih baik.

QRIS dan Keadilan Perpajakan

Pengenaan PPN 12% pada transaksi menggunakan QRIS bukanlah pajak tambahan untuk metode pembayaran ini, melainkan penerapan pajak yang sudah berlaku pada barang atau jasa kena pajak. Ditjen Pajak menegaskan bahwa kebijakan ini sejalan dengan prinsip keadilan perpajakan dan mendukung digitalisasi ekonomi di Indonesia.

Bagi masyarakat, penting untuk memahami bahwa QRIS hanyalah alat bantu pembayaran, dan tarif PPN 12% berlaku secara umum untuk semua transaksi yang memenuhi kriteria. Dengan edukasi dan transparansi yang terus ditingkatkan, kebijakan ini diharapkan dapat mendukung pembangunan negara tanpa membebani masyarakat secara berlebihan.