Mengapa Tom Lembong Tetap Dihukum Meski Disebut Tak Nikmati Hasil Korupsi?

Headline33 Views

Kasus yang menimpa Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong telah memantik diskusi di ruang publik—bukan hanya karena reputasinya sebagai pejabat berintegritas, melainkan juga karena ia dijatuhi hukuman pidana meski dalam persidangan terungkap tidak menikmati hasil korupsi. Fenomena ini menjadi ilustrasi nyata bagaimana korupsi di Indonesia, dalam penegakan hukumnya, tidak selalu berhenti pada pelaku yang memperkaya diri, namun juga menjerat pejabat yang dinilai membiarkan, lalai, atau gagal mencegah tindak pidana korupsi.

Latar Belakang Kasus: Riwayat Karier dan Fakta Persidangan

Tom Lembong dan Citra Reformis

Thomas Trikasih Lembong adalah tokoh publik dengan riwayat panjang di bidang keuangan, investasi, dan birokrasi. Ia pernah menjabat sebagai Kepala BKPM dan Menteri Perdagangan. Kariernya kerap diasosiasikan dengan upaya reformasi birokrasi dan peningkatan transparansi investasi di Indonesia. Sikap terbuka, rekam jejak akademis, serta jaringan profesional internasional membuat namanya sering diasosiasikan dengan reformasi dan good governance.

Namun, realitas birokrasi Indonesia kerap penuh jebakan. Nama Tom Lembong tercatat dalam pusaran kasus korupsi yang membelit proyek investasi strategis nasional. Dalam proses persidangan, terungkap bahwa ia memang tidak menerima aliran dana haram ataupun gratifikasi. Namun, dalam kapasitasnya sebagai pejabat, ia terbukti membiarkan, mengabaikan, atau gagal mencegah penyimpangan yang menyebabkan kerugian negara.

Kronologi Kasus dan Peran Tom Lembong

Proyek yang menjadi sumber masalah diduga melibatkan penyelewengan dana investasi yang semestinya digunakan untuk kepentingan publik. Penyelidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap adanya manipulasi data, pemberian izin yang tidak prosedural, hingga praktik suap antar pejabat di beberapa tingkatan. Dalam sistem birokrasi, pelanggaran semacam ini sulit terjadi tanpa restu, pembiaran, atau setidaknya ketidaktegasan pejabat puncak.

Di pengadilan, Tom Lembong didakwa atas dasar peran serta membiarkan berlangsungnya proses yang berujung pada kerugian negara. Walau tidak memperkaya diri sendiri, ia dinilai gagal menjalankan tugas pengawasan dan pencegahan sebagai seorang pimpinan institusi strategis. Fakta ini yang kemudian menjadi dasar putusan majelis hakim: bahwa kerugian negara tetap menjadi tanggung jawabnya.

Prinsip dan Dasar Hukum: Kenapa Tak Harus Menikmati Hasil?

Uraian Hukum Pemberantasan Korupsi

UU Nomor 31 Tahun 1999 junto UU 20 Tahun 2001 secara jelas menyatakan: siapa pun yang memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi secara melawan hukum dan mengakibatkan kerugian negara dapat dijatuhi hukuman. Pasal ini menegaskan bahwa korupsi bukan hanya soal siapa yang menerima uang, melainkan juga siapa yang membiarkan terjadinya pelanggaran, bahkan jika pelaku utamanya adalah pihak lain.

Prinsip ini semakin diperkuat dengan doktrin pertanggungjawaban jabatan, terutama pada pejabat publik yang punya kewenangan. Dalam hukum pidana dikenal unsur dolus (kesengajaan) dan culpa (kelalaian). Seseorang bisa dijatuhi pidana korupsi walau tidak pernah menerima sepeser pun uang haram, jika terbukti lalai, membiarkan, atau gagal mengambil tindakan saat mengetahui adanya pelanggaran.

Yurisprudensi dan Doktrin “By Omission”

Yurisprudensi Mahkamah Agung telah beberapa kali menguatkan putusan terhadap pejabat yang terbukti “by omission”—yakni terlibat secara pasif atau karena kelalaiannya. Doktrin ini lazim di negara-negara dengan sistem hukum progresif. Dengan demikian, pembiaran adalah kejahatan itu sendiri jika memiliki dampak kerugian keuangan negara.

Hal ini berakar dari pemahaman bahwa jabatan publik bukan semata hak istimewa, tetapi juga tanggung jawab untuk menjaga integritas proses birokrasi dan penggunaan anggaran publik.

Tanggung Jawab Jabatan: Moral, Etika, dan Hukum

Jabatan Publik dan Amanah Rakyat

Dalam etika birokrasi, pejabat publik menanggung beban kepercayaan masyarakat. Integritas, transparansi, dan tanggung jawab moral menjadi nilai utama. Seorang menteri, kepala badan, atau pejabat setingkat Tom Lembong diharapkan menjadi pengawal sistem agar tidak terjadi pelanggaran. Jika terjadi pelanggaran, publik menuntut pertanggungjawaban, bukan sekadar mencari siapa yang menerima keuntungan materi.

“Command Responsibility” dalam Praktek

Prinsip command responsibility—atau pertanggungjawaban komando—mengharuskan pemimpin untuk mengawasi bawahannya dan mencegah terjadinya pelanggaran hukum. Jika pemimpin gagal, baik secara aktif atau pasif, maka ia tetap bisa dimintai pertanggungjawaban pidana. Dalam kasus Tom Lembong, fakta bahwa ia berada di posisi kunci dan gagal mengawasi proses birokrasi adalah alasan utama ia tetap dijatuhi hukuman.

Praktik Internasional: Kasus Serupa di Negara Lain

Singapura, Amerika, dan Eropa

Banyak negara dengan sistem hukum progresif menegakkan prinsip bahwa pejabat publik tetap bisa dihukum walau tak menikmati hasil korupsi. Di Singapura, misalnya, seorang direktur BUMN dijatuhi pidana karena membiarkan praktik mark-up walau tidak memperkaya diri. Di Amerika Serikat, pejabat yang gagal mencegah atau melaporkan penyimpangan dana bisa dikenakan sanksi berat.

Mahkamah Agung Indonesia juga berulang kali menguatkan putusan seperti ini, menegaskan bahwa setiap pejabat publik bertanggung jawab menjaga sistem dari potensi korupsi, termasuk melalui pembiaran atau kelalaian.

Analisis Hukum dan Perspektif Akademisi

Unsur Dolus, Culpa, dan Strict Liability

Akademisi hukum pidana menjelaskan bahwa unsur kesalahan (error) bisa berbentuk kesengajaan (dolus) maupun kelalaian berat (culpa lata). Dalam konteks korupsi birokrasi, strict liability sering diterapkan: artinya pejabat publik dapat langsung dimintai pertanggungjawaban hukum atas kerugian negara, tanpa harus membuktikan ia menikmati hasil.

Dengan demikian, Tom Lembong dan pejabat lain yang membiarkan praktik korupsi tetap bisa dijatuhi hukuman pidana, bahkan jika mereka secara pribadi tidak menerima gratifikasi.

Pertimbangan Hakim dalam Putusan

Majelis hakim dalam kasus Tom Lembong menyatakan, “Jabatan publik adalah amanah rakyat. Ketika kerugian negara terjadi akibat keputusan, kelalaian, atau pembiaran, pejabat wajib bertanggung jawab secara hukum dan moral. Tidak menikmati hasil bukan alasan untuk menghapus pertanggungjawaban.”

Implikasi Sosial: Stigma, Reputasi, dan Harapan Publik

Stigma Sosial dan Dampak pada Keluarga

Walaupun tidak menikmati hasil korupsi, hukuman terhadap pejabat publik tetap membawa stigma yang berat. Nama baik tercoreng, karier profesional hancur, dan keluarga ikut menanggung tekanan sosial. Namun, vonis ini sering dianggap publik sebagai bentuk keadilan: pejabat tidak boleh “lepas tangan” ketika sistem yang dia pimpin bermasalah.

Harapan Masyarakat dan Efek Jera

Bagi masyarakat, vonis ini diharapkan menjadi efek jera yang kuat. Publik ingin semua pejabat sadar, bahwa pembiaran, kompromi, atau sikap masa bodoh terhadap penyimpangan sama bahayanya dengan pelaku korupsi itu sendiri. Hanya dengan penegakan prinsip tanggung jawab jabatan, kepercayaan masyarakat pada birokrasi bisa dipulihkan.

Budaya Integritas dan Reformasi Birokrasi

Pentingnya Pengawasan dan Pelaporan

Kasus ini menegaskan pentingnya sistem pengawasan dan perlindungan whistleblower di birokrasi. Pejabat harus aktif melaporkan jika ada dugaan korupsi. Reformasi hukum diperlukan agar pejabat yang mencegah korupsi tidak justru dihukum, melainkan diberi perlindungan hukum.

Pendidikan Etika Publik

Selain aspek hukum, kasus ini mengingatkan pentingnya pendidikan etika birokrasi. Setiap pejabat harus memahami, mengemban jabatan publik berarti siap menanggung risiko hukum jika terjadi kerugian negara akibat kelalaian atau pembiaran.

Studi Kasus Lain: Perbandingan Yurisprudensi

Studi Kasus: Mantan Dirut BUMN dan Kepolisian

Di Indonesia, beberapa mantan direktur BUMN divonis penjara meski terbukti tidak menikmati hasil korupsi. Dalam beberapa kasus di kepolisian, pimpinan yang membiarkan praktik pungli di institusinya tetap dihukum secara pidana. Ini menunjukkan bahwa sistem hukum nasional makin tegas terhadap prinsip pertanggungjawaban jabatan.

Pandangan Lembaga Antikorupsi

ICW dan lembaga antikorupsi dunia menilai, vonis terhadap pejabat yang tidak menikmati hasil adalah langkah strategis agar pencegahan korupsi menjadi tanggung jawab kolektif, bukan sekadar urusan penegak hukum.

Pembelajaran, Pencegahan, dan Arah Baru Sistem Hukum

Perlindungan bagi Pejabat Jujur dan Reformasi Prosedur

Di satu sisi, sistem juga harus mampu membedakan antara pejabat yang benar-benar aktif mencegah korupsi dan yang lalai atau membiarkan. Perlindungan hukum bagi pelapor, edukasi soal fungsi pengawasan, dan prosedur pelaporan yang mudah diakses menjadi prasyarat pencegahan korupsi yang efektif.

Inovasi Pengawasan: Teknologi dan Keterbukaan

Penguatan sistem digital dan transparansi proses birokrasi lewat e-government akan memudahkan deteksi dini praktik korupsi dan memperkecil peluang pejabat membiarkan pelanggaran.

Refleksi dan Hikmah untuk Generasi Pejabat Masa Depan

Kasus Tom Lembong dan putusan serupa di Indonesia menandai era baru pemberantasan korupsi: jabatan publik bukan sekadar hak, tapi juga beban pertanggungjawaban hukum dan moral. Ke depan, pencegahan korupsi bukan sekadar menindak pelaku utama, melainkan juga semua pejabat yang membiarkan atau gagal bertindak.

Hukuman bagi pejabat yang tak menikmati hasil korupsi adalah pesan moral dan hukum yang tegas—bahwa tanggung jawab jabatan adalah harga mati, dan keadilan birokrasi menuntut semua pihak, bukan sekadar penerima dana haram, untuk menjaga integritas bersama.